Bagaimana kekacauan tarif Trump dapat mengubah bisnis di Asia

uberpreneurs.com – Tan Yew Kong, salah satu tokoh kunci di GlobalFoundries Singapura, menggambarkan perusahaannya seperti butik penjahit, merancang chip sesuai keinginan klien. Kini, perusahaan itu juga harus merancang ulang strategi bisnisnya demi menghadapi kebijakan tarif AS yang terus berubah-ubah.

Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa pemerintahannya akan segera mengirimkan surat pemberitahuan tarif baru yang mulai berlaku 1 Agustus. Tarif tersebut berkisar antara 10 hingga 70 persen, meski negara-negara yang dituju belum diumumkan. Ancaman tarif terhadap semikonduktor telah membuat banyak pelaku industri kesulitan menyusun rencana jangka panjang.

Ketidakpastian Bikin Strategi Harus Gesit

GlobalFoundries, yang bermarkas di AS, menjadi mitra produksi bagi sejumlah nama besar seperti AMD, Broadcom, dan Qualcomm. Perusahaan ini memiliki fasilitas produksi di berbagai negara Asia, termasuk India dan Korea Selatan. Untuk memenuhi permintaan chip AI yang melonjak, GlobalFoundries bahkan telah menyiapkan investasi baru sebesar $16 miliar.

Sebagai upaya perlindungan, perusahaan ini juga berkomitmen memindahkan sebagian proses produksi ke wilayah Amerika. Sementara itu, kabar dari Bloomberg menyebutkan bahwa AS akan memperketat ekspor chip AI ke Malaysia dan Thailand untuk mencegah penyelundupan teknologi ke Tiongkok.

Negara-Negara Asia Berlomba Mengatur Strategi Dagang

Negara-negara Asia mulai mengambil langkah sendiri. Vietnam berhasil menandatangani kesepakatan dagang dengan AS yang menetapkan tarif ekspor ke Negeri Paman Sam sebesar 20 persen. Sebaliknya, ekspor AS ke Vietnam dibebaskan dari tarif. Negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia masih menegosiasikan kesepakatan masing-masing.

Beberapa negara seperti Thailand dan Indonesia bahkan menawarkan pembelian produk AS sebagai taktik negosiasi. Sementara negara yang daya tawarnya lemah, seperti Kamboja, harus rela menerima tarif setinggi 49 persen tanpa banyak pilihan.

Perusahaan AS Ikut Merasa Tekanan

Efek dari kebijakan ini tak hanya dirasakan oleh negara mitra, tetapi juga perusahaan asal AS sendiri. Banyak brand besar di industri tekstil dan sepatu, seperti Nike, yang sudah lama mengandalkan produksi di Asia Tenggara. Kenaikan tarif jelas akan meningkatkan harga produk bagi konsumen akhir.

Sebagai respons, beberapa perusahaan mulai mempertimbangkan relokasi pabrik ke negara dengan beban tarif lebih ringan seperti Filipina, Malaysia, dan Singapura. Ada juga yang mengincar pasar baru di kawasan seperti Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Latin.

Globalisasi Bergeser ke Regionalisasi

Menurut Tan, industri chip sekarang mulai meninggalkan sistem globalisasi dan beralih ke pendekatan regionalisasi. Mereka mencari lokasi produksi yang lebih aman dan berkelanjutan, walaupun biaya produksinya lebih mahal. Perubahan ini mencerminkan pergeseran besar dalam pola rantai pasok global.

Ekonom Pushan Dutt dari INSEAD juga menyatakan bahwa kebijakan AS memberikan peluang besar bagi Tiongkok untuk memperkuat peran sebagai penjaga sistem perdagangan global. Saat AS bergerak menuju proteksionisme, negara-negara Asia justru makin terbuka terhadap perdagangan lintas batas.

Akankah AS Kehilangan Pengaruh?

Perdagangan antara negara-negara Asia kini berkembang pesat, bahkan tanpa melibatkan AS. Pakar seperti Aparna Bharadwaj menyebut tren ini sebagai langkah strategis untuk menjaga ketahanan ekonomi regional. Di saat AS memberlakukan tarif, negara-negara Asia justru mempererat kerja sama untuk tetap kompetitif.

Dengan banyaknya negara yang mulai menyesuaikan diri dan mencari pasar baru, struktur perdagangan dunia bisa berubah drastis. Tarik ulur kebijakan dari Washington tak lagi menjadi satu-satunya acuan. Dunia mulai mencari jalur mandiri.

Prof Dutt menyimpulkan situasi ini dengan kutipan yang relevan: “Hormat pada penguasa, lalu berjalanlah sesuai arahmu sendiri.” Asia tampaknya sudah mulai melangkah ke arah itu.