Tim arkeolog Universitas Indonesia (UI) menemukan lembaran tembaga beraksara Kawi di bawah proyek Tol Becakayu Seksi 3, Jakarta Timur, pada 12 Agustus 2024. Naskah berusia sekitar 600 tahun itu memprediksi: Ketika besi melayang di atas tanah, banjir lautan akan menenggelamkan pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun sangkala 1972—yang menurut pakar filologi setara dengan 2050 Masehi. Dr. Ayu Pratiwi, ketua tim peneliti, membenarkan keaslian naskah: “Analisis radiokarbon menunjukkan ini berasal dari abad ke-14. Prediksinya detail, bahkan menyebut kenaikan air laut setinggi pohon kelapa.”

Pemerintah Provinsi DKI langsung merespons. Gubernur Heru Budi Hartono menggelar rapat darurat dengan ahli geologi dan sejarawan. “Kami tidak bisa anggap remeh warisan leluhur. Tapi harus cross-check dengan data ilmiah,” tegasnya. Hasilnya mengejutkan: data LIPI menunjukkan permukaan air laut Jakarta naik 3,8 cm per tahun—dua kali lipat prediksi global. “Jika tren ini terus berlanjut, tahun 2050 bukan mustahil,” konfirmasi Dr. Hendra dari Pusat Riset Geoteknologi BRIN.

Ramalan itu memicu aksi nyata. Dinas PUPR DKI mempercepat proyek tanggul raksasa Giant Sea Wall dengan anggaran tambahan Rp 15 triliun. Sementara itu, komunitas Betawi di Marunda menggelar ritual sedekah laut di Pelabuhan Kalibaru. “Ini peringatan dari nenek moyang agar kita jaga alam,” ujar Mbah Rohim, sesepuh setempat.

Di media sosial, tagar #Jakarta2050 meledak dengan 1,2 juta tweet. Warganet membagikan foto banjir rob di Pluit dan ancaman amblesan tanah di Cengkareng. Namun, sejarawan Prof. Bambang Sutrisno dari UI mengingatkan: “Naskah kuno kerap hiperbolis. Jangan sampai ramalan ini malah memicu kepanikan tanpa dasar ilmiah.”

Badan Arkeologi Jawa Barat turun tangan. Mereka menemukan prasasti serupa di bekas Pelabuhan Banten Lama yang memperingatkan “kota di ujung barat akan ditelan air”. “Ini mungkin merujuk pada fenomena serupa di masa lalu,” papar Kepala Balai Arkeologi Jabar, Dr. Taufik.

Di tengah pro-kontra, investor properti mulai resah. Harga apartemen di kawasan Thamrin turun 12% dalam seminggu. Sebaliknya, permintaan rumah di kawasan tinggi seperti Puncak meningkat 40%. “Orang kini lebih pilih aman,” kata Maria, agen properti di Jakarta Selatan.

Pemerintah pusat akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi: “Ramalan bukan takdir. Kami akan integrasikan kearifan lokal dengan teknologi mitigasi bencana.” Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menjanjikan pembangunan 20 waduk resapan baru di Jakarta sebelum 2030.

Naskah kuno itu mungkin kontroversial, tapi setidaknya ia memaksa semua pihak membuka mata: ancaman tenggelamnya Jakarta bukan mitos, tapi tantangan nyata yang butuh aksi kolektif. Sekarang, tinggal pilih: mengubah nasib atau menunggu air menggenangi Monas?