Mantan Presiden AS Donald Trump umumkan tarif progresif 25% pada impor minyak Venezuela lewat skema Tiered Oil Sanctions 2024. Secara rinci, kebijakan ini kenakan bea 10% untuk ekspor di bawah 500.000 barel/hari, naik bertahap hingga 25% jika melebihi 1 juta barel. Venezuela langsung protes ke WTO, klaim langgar prinsip dagang bebas.
Respons atas kebijakan, PDVSA pangkas 40% ekspor ke AS dalam seminggu, alihkan 300.000 barel/hari ke Asia via kapal shadow fleet. Trump perintahkan AL AS perketat pengawasan di Karibia, dan sita 4 tanker Panama bawa 2,8 juta barel minyak. Dampaknya, ekonomi Venezuela—95% bergantung ekspor minyak—kolaps, inflasi melonjak ke 450%.
Di pihak lain, China kecam kebijakan AS sebagai “pelanggaran kedaulatan”, siapkan skema yuan-oil swap pakai mata uang digital. Bersamaan, Rusia kirim 2 kapal perang Gorshkov ke Karibia dukung Venezuela.
Di pasar global, harga Brent crude naik 8% ke $94/barel—tertinggi sejak 2022. Analis Goldman Sachs perkirakan defisit pasokan capai 1,5 juta barel/hari jika sanksi berkepanjangan. Perusahaan pelayaran seperti Maersk khawatirkan risiko double tariff di rute Amerika Latin-AS.
Trump ancam perluas sanksi ke India dan Turki kecuali patuhi aturan AS. Sebaliknya, Uni Eropa kritik kebijakan ini sebagai “senjata ekonomi berbahaya”. Kementerian Energi AS aktifkan cadangan 50 juta barel, meski pakar peringatkan stok hanya cukup 28 hari konsumsi domestik.
Kebijakan ini peruncing ketegangan AS-BRICS dan berpotensi picu perang dagang multilateral yang ganggu pasokan energi global.