Pemerintah Finlandia meluncurkan “Digital Forest”, hutan virtual seluas 4.000 km² di metaverse yang meniru ekosistem hutan boreal asli. Tidak hanya berhenti di situ, proyek ini menggandeng NVIDIA dan UNESCO untuk edukasi perubahan iklim melalui eksplorasi interaktif.
Di satu sisi, tim Finlandia memadukan kecanggihan NVIDIA Omniverse dengan database keanekaragaman hayati UNESCO. NVIDIA menyediakan platform render 3D real-time, sementara itu UNESCO menyuplai data dari 50 cagar alam global. Dengan kombinasi ini, replika digital tidak hanya visual menakjubkan, tetapi juga akurat secara ekologis.
Pertama-tama, ilmuwan menerbangkan drone berteknologi LiDAR untuk memindai struktur pohon, topografi, dan pola migrasi satwa di hutan boreal. Selanjutnya, mereka mengonversi data tersebut menjadi model 3D resolusi 8K menggunakan AI. Hasilnya, pengguna metaverse bisa “menyentuh” kulit pohon virtual atau menyaksikan proses fotosintesis dalam bentuk animasi.
Sebagai langkah konkret, siswa SMA di Helsinki mengikuti kelas biologi di Digital Forest. Mereka menanam pohon digital, memantau pertumbuhannya via sensor IoT, lalu menganalisis dampaknya terhadap penyerapan karbon. Secara paralel, PBB merancang forum iklim di metaverse tempat pemimpin dunia menguji kebijakan lingkungan secara real-time. Contohnya, simulasi larangan plastik Jerman langsung tunjukkan penurunan 12% kematian satwa virtual dalam 24 jam.
Selain edukasi, setiap partisipan yang sukses selamatkan spesies langka atau restorasi lahan di hutan virtual mendapat token hijau berbasis blockchain. Dengan demikian, token ini bisa pengguna tukar dengan diskon 30% tiket ke cagar alam nyata atau donasi otomatis ke program penanaman pohon. Faktanya, seorang partisipan asal Norwegia klaim kumpulkan 500 token hanya dengan merestorasi 20 hektar lahan gambut digital.
Meski demikian, ahli ekologi menuding simulasi migrasi burung dalam hutan digital kurang akurat—beberapa spesies muncul di zona berlumut padahal habitat aslinya di rawa. Menanggapi hal ini, NVIDIA merespons dengan memperbarui algoritma prediksi pergerakan satwa berbasis data cuaca historis. Di sisi lain, pemerintah Finlandia membangun Eco-Labs di 50 perpustakaan untuk sediakan headset VR terjangkau bagi masyarakat pedesaan.
Selanjutnya, pada 2025, Finlandia berencana replikasi hutan hujan Amazon dan Indonesia di metaverse. Melalui kolaborasi ini, mereka akan pantau deforestasi ilegal via satelit dan update perubahan di hutan virtual setiap 6 jam. Bahkan, Menteri Lingkungan Indonesia menyambut kolaborasi ini, menyatakan teknologi ini bisa tekan laju deforestasi 15% pada 2026.
Tidak ketinggalan, Greenpeace meluncurkan program Guardian of the Forest, mengajak relawan global patroli hutan digital 24/7. Di sini, relawan bisa laporkan aktivitas mencurigakan dan dapatkan sertifikat resmi PBB. Dalam waktu singkat, 5.000 laporan deforestasi virtual berhasil picu investigasi di dunia nyata.
Pada akhirnya, simulasi di Digital Forest dorong 12 perusahaan Eropa revisi kebijakan pasok kayu. Contoh nyata, IKEA hentikan kerjasama dengan 3 pemasok setelah melihat dampak virtual penebangan hutan. Dengan kata lain, proyek ini membuktikan metaverse bukan sekadar hiburan—tapi alat transformasi kesadaran ekologi menjadi aksi nyata.